Oleh : Taufik Hassunna
Kendati Pajajaran sebagai nama salah satu kerajaan di Tatar Sunda dan selalu dihubungkan dengan Siliwangi, namun dalam tataran yang disebut mitos memiliki kedudukan yang berbeda. Karena Pajajaran benar-benar tercantum dalam data tertulis yang disebut Prasasti.
A. Prasasti (Tembaga) Piteket
Prasasti ini terdiri dari lima lempeng tembaga (I – V) ditemukan di kampung Kebantenan-Bekasi, Jawa Barat (NGB.1886:30; NBG.1911. XXVIII). Kini Disimpan di Museum Nasional (Jakarta) Beraksara dan berbahasa Sunda Kuno tanpa mencantumkan unsur pertanggalan, kronologi terhadap Prasasti Kebantenan ini didasarkan kepada jenis dan gaya aksara yang disebut analisis palaeografis, juga nama raja yang disebutkannya dalam prasasti tersebut, maka dapat diketahui bahwa prasasti Kebantenan dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharajadhiraja yang memerintah di Pakwan Pajajaran (1482-1521 AD).
Lempeng E42a:
Muka : //0// om awighnamastu nihan sakakala RAHIYANG WASTU KANCANA pun/turun ka RAHIYANG NINGRAT KANCANA /maka nguni ka susuhunanna di PAKWAN PAJAJARAN pun/ mulah mo mihape
Lempeng E.43:
Muka: //0// pun INI PITEKET SRI BADUGA MAHARAJA RATU di PAKWAN SRI SANG RATU DEWATA /…
Lempeng E.44:
Muka: ini piteket nu seba di PAJAJARAN. miteke tanna kabuyutan di sunda sembawa aya ma nu yuan mulah aya nu nyekapan. mulah nu munah-munah inya. nu ngaheuryanan lamun aya nu
Belakang : keudeu paambahna lurah sunda sembawa. KU AING DITAH DIPAEHHAN. kena eta lurah kawikwan.
B.Prasasti Batutulis
Situs yang terletak di desa Batu Tulis, Sukasari Bogor merupakan peninggalan Kerajaan Pakwan Pajajaran, dituliskan pada batu yang dibentuk berupa 'gunung” namun dengan memperlihatkan kesan alami. Beraksara dan berbahasa Sunda Kuno terdiri dari sembilan baris. Keterangan yang menguraikan Pajajaran sebagai berikut: “… (2) diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri (3) baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran sri sang ratu de (4) wata pun ya nu nyusuk na pakwan…”
Piteket Kebantenan dan Batutulis keduanya fakta keberadaan Pajajaran diawali Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) memerintah selama 39 tahun (1482–1521). Pada masa inilah Pakwan Pajajaran mencapai puncak kejayaan perkembangannya.
Prasasti Batutulis mencatat bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, pertama ketika menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) dianugrahi gelar Dewatapranata; kedua ketika menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya (Susuktunggal).
Melaui peristiwa ini Jayadewata resmi penguasa Sunda-Galuh yang digelari Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Di Jawa Barat Sri Baduga lebih dikenal dengan sebutan [Prabu] Siliwangi. Siliwangi tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun yang ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya juga berintikan kisah sosok tokoh yang sama ini menjadi raja di Pakwan. Dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga memiliki kekuasaan sama besarnya dengan Wastukancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Mengapa masyarakat Sunda menjuluki [Prabu] Siliwangi karena menurut tradisi lama ada semacam segan menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Dayeuh Pakuan (Kota Bogor sekarang) pernah mengalami masa jaya ketika menjadi purasaba (ibu kota) kerajaan Pajajaran dengan rajanya yang terkenal Sri Baduga Maharaja( Prabu Siliwangi) dari tahun 1482-1521 Masehi, peristiwa penobatan Sri Baduga pada tanggal 3 Juni 1482 sekarang diperingati sebagai Hari Jadi Bogor.
Pada masa pemerintahannya, terjadi hubungan internasional yang pertama dengan bangsa Eropa, bilateral dengan Portugis pada tahun 1513, sedangkan negara negara lainnya yang sempat jadi sahabat dalam perdagangan adalah : Cina, Keling, Parsi, Mesir, Madinah, Campa, Pahang< Kelantan, Jawa dan beberapa puluh negara yang ada di Nusantara lainnya. Untuk kepentingan ini, menurut naskah kuno Kropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, telah disiapkan "Jurubasa Darmamurcaya" atau maksudnya Juru Penerang Bahasa yang tentu saja termasuk "Ahli Bahasa" dan "Penterjemah Bahasa" di dalamnya.
Walaupun saat itu oleh masyarakat dikenal sebagai "Kerajaan Pajajaran", tapi ketika saling tukar menukar utusan, Sri Baduga Maharaja secara resmi menyebut negerinya sebagai "Kerajaan Sunda".
Kembali kepada "Bogor/Pakuan riwayat kejayaanmu dulu", menurut uraian catatan perjalanan Tome Pires, seorang Portugis yang mengikuti kunjungan kenegaraan tahun 1513 ke "Pakuan Pajajaran", yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi "The Suma Oriental" tahun 1944, terdapat reportase tentang keberadaan "DAYO(dayeuh)" sebagai ibukota kerajaan Sunda(Pajajaran).
Menurut catatan reportase Tome Pires, penduduk ibukota Pakuan Pajajaran ada 50.000 jiwa.
Pelabuhan pelabuhan penting kerajaan Pajajaran tercatat : Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Kalapa, Karawang dan Cimanuk. Sehingga Tome Pires menyebut Kerajaan Pajajaran sebagai " Negeri Ksatria dan Pahlawan Laut".
Komoditi ekspornya : beras, lada, kain tenun, tamarin(asem), juga diceritakan bagaimana melimpah ruahnya sayuran dan daging di pasar pasar. Impornya : tekstil halus dari Cambay, kuda dari Pariaman 4000 ekor pertahun. Alat pembayaran : Uang Emas dan Uang Kepeng.
Mengenai istana tempat kediaman Raja Pajajaran : terdapat rumah-rumah yang besar dan indah terbuat dari kayu dan palem. Istana kerajaan dikelilingi oleh 330 pilar (kayu) sebesar tong anggur yang tingginya mencapai 4 fathom (kira kira 9 meter), dengan ukiran indah di setiap puncaknya.
Kesan tentang Raja Sunda, Tome Pire menulisnya Kerajaan Sunda diperintah dengan adil, hampir sama kesannya dengan penulis naskah kuno "Carita Parahiyangan".
Purbatisti-Purbajati atau "Peraturan dan Ajaran Leluhur" yang berlaku umum dan harus dipatuhi disebut sebagai Sanghiyang Siksa yang saat ini naskah aslinya disimpan pada Kropak 630 milik Museum Pusat Jakarta, terdaftar sebagai seri naskah Manuscript Soenda B.
Dari naskah kuno itulah kalau kita ingin mengetahui nilai tradisional Kerajaan Pajajaran. Sebab angka tahun penulisan naskah adalah tahun 1518 Masehi, sejaman dengan masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang berkuasa dari tahun 1482 sampai dengan tahun 1521 Masehi.
Dari naskah lembar ke 13 ada contoh pelajaran moral tentang kritik yang intisarinya : kita harus jembar hati dalam hal menerima kritik, bila kita menerima kritik, budi kita akan makin padat berisi " KANGKEN PARE BEURAT SANGGA" yang berarti "seperti padi runduk karena berat isinya"..
Dari Siksakandang Karesian kita akan mengetahui berbagai aspek kehidupan berdasarkan keahliannya masing masing seperti : bila ingin tahu semua cerita wayang, bertanyalah kepada"MEMEN". Bila ingin tahu segala macam lagu bertanyalah kepada "PARAGUNA"(ahli karawitan).
Ahli permainan (kaulinan disebut "EMPUL", ahli cerita pantun "PREPANTUN". ahli lukis, "LUKIS", ahli tempa besi dan ahli membuat perkakas, "PANDAY", ahli ukir "MARANGGUY", ahli masak, "HAREUP CATRA", ahli batik, "PANGEUYEUK", ahli perang , "HULUJURIT"ahli mantera, "SANG BRAHMANA", ahli ilmu pengetahuan alam, "BUJANGGA", ahli kenegaraan, "RAJA" ahli tanah, "MANGKUBUMI", ahli pelabuhan, "PUHAWANG" ahli hitung dagang, "CITRIK", ahli bahasa asing, "JURUBASA DARMAMURCAYA".
Banyak hal hal yang patut diketahui tentang "kearifan kebudayaan" dari kitab Sanghiyang Siksakandang Karesian. Mungkin naskah kuno kropak 630 itulah merupakan manifestasi "Wangsit Sri Baduga Maharaja" yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar